Di sinilah penting bagi kita untuk mengetahui penyebab kegagalan ibadah. Bahwa ternyata, kegagalan yang dialami seseorang ketika ibadah, bukan semata karena dia melakukan pembatalnya. Namun ada pelanggaran lain yang menjadi sebab amal ibadah seseorang menjadi gagal. Bahkan bisa jadi, ini sumber kegagalan terbesar. Sumber kegagalan itu adalah pembatal pahala puasa.
Mari kita pahami, terkait pembatal dalam masalah ibadah, di sana ada dua bentuk,
Pertama, pembatal ibadah itu sendiri.
Itulah segala sesuatu yang jika dilakukan ketika melaksanakan ibadah tersebut, bisa menyebabkan ibadah ini batal dan harus diulangi. Sebagai contoh, dalam ibadah puasa. Pembatal puasa diantaranya adalah makan, minum, hubungan badan yang dilakukan dengan sengaja. Siapa yang melakukan salah satu dari pembatal ini, maka puasanya batal dan dia wajib diganti di bulan yang lainnya.
Untuk pembatal jenis pertama ini, kita tidak perlu terlalu merisaukan. Karena banyak di antara kaum muslimin yang sudah memahaminya. Dan bahkan mereka berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukannya. Sampai yang bukan pembatal sekalipun, terkadang mereka anggap sebagai pembatal.
Kedua, pembatal pahala ibadah. Artinya, ketika pembatal ini dilakukan, amal ibadah kita tetap sah, hanya saja perbuatan ini bisa menggugurkan pahala ibadah yang kita lakukan. Dalam kasus puasa, pembatal pahala puasa adalah semua perbuatan maksiat baik kecil maupun besar dan semua perbuatan sia-sia yang menyibukkan seseorang, sehingga tidak sempat melaksanakan ketaatan.
Pembatal kedua inilah yang selayaknya lebih kita waspadai.
Bahkan sebisa mungkin kita informasikan kepada yang lain. Mengingat masih banyak di antara kita yang belum memahaminya. Inilah yang diingatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya melalui bebarapa sabdanya, diantaranya hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan semua perbuatan dosa, maka Allah tidak butuh dengan amalnya (berupa) meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari 1903, Abu Daud 2364, Ibnu Hibban 3480 dan Turmudzi 711)
Yang dimaksud “qauluz zur” adalah semua ucapan dusta, kebatilan, perkataan haram, dan yang menyimpang dari kebenaran. Sedangkan maksud “al-Amal bihi” adalah semua perbuatan yang dilarang oleh Allah. Demikian keterangan al-Hafidz al-Aini dalam Umdatul Qori (10/276).
Dan seperti inilah yang dipahami para ulama. Kewajiban orang puasa, harus menahan dirinya jangan sampai terjerumus ke dalam maksiat. Ibnu Hibban dalam shahihnya menyatakan,
Beberapa dalil yang menunjukkan bahwa puasa hanya bisa sempurna jika diiringi dengan menjauhi perbuatan yang terlarang, tidak hanya menjauhi makan, minum, atau hubungan badan semata. (Shahih Ibnu Hibban).
Juga disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ
“Hakekat puasa bukanlah menahan makan dan minum, namun puasa yang sejatinya adalah menahan diri dari perbuatan al-Laghwu dan rafats. Jika ada orang yang mencelamu atau bertindak bodoh kepadamu maka katakanlah: Saya sedang puasa.” (HR. Hakim , Ibn Khuzaimah, dan dishahihkan al-Albani)
Dan yang dimaksud “al-laghwu” adalah segala perbuatan sia-sia, yang bisa melalaikan seseorang untuk melakukan ketaatan. Sedangkan yang dimaksud “ar-rafats” adalah semua ucapan dan perbuatan jorok.
Berwibawa Ketika Puasa
Orang yang berpuasa, sejatinya tidak hanya puasa perut dan di bawah perut, namun juga puasa indera dan semua yang berpotensi menjadi sumber dosa. Sehingga seorang mukmin sejati akan nampak sangat berbeda antara kondisi dia berpuasa dan ketika sedang tidak berpuasa. Seorang mukmin yang sedang berpuasa, dia akan menjadi orang yang sangat berwibawa, karena upayanya untuk menjaga diri dari setiap maksiat dan perbuatan yang menurunkan martabat. Sebagaimana yang pernah dinasehatkan oleh sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,
“Apabila kalian berpuasa maka jadikan telinga kalian, penglihatan kalian, dan lisan kalian juga berpuasa. Berpuasa dari bicara dusta dan perbuatan haram lainnya. Jauhi tindakan mengganggu tetangga. Jadikan diri kalian orang yang berwibawa dan tenang ketika sedang berpuasa. Jangan jadikan hari puasa kalian sama dengan hari ketika kalian tidak berpuasa.” (Ceramah Syaikh Sulthan Al-‘Id)
Seperti itulah sejatinya puasa seorang mukmin. Puasa yang dia lakukan mampu mengubah kepribadiannya, sehingga berbeda antara keadaannya ketika berpuasa dan di luar puasa. Dia memiliki hasmah ilahiyah (rasa malu yang besar, karena dorongan taqwa), selalu merasa diawasi dan waspada terhadap setiap gerakan yang dia lakukan.
Kondisi seperti inilah yang digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa puasa bisa menjadi perisai. Perisai dari perbuatan tercela di dunia dan perisai dari neraka di akhirat. Agar puasa yang dia lakukan menjadi perisai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing umatnya untuk menghindari segala yang bisa menjatuhkan wibawanya, di hadapan Allah maupun di hadapan makhluk.
Anda perhatikan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita melakukan tindakan jorok, atau tindakan yang umumnya dilakukan orang bodoh, seperti teriak-teriak, main mercon, ganggu orang, dst. Karena perbuatan semacam ini bisa mengurangi kualitas puasa kita. Bahkan, ketika kita diajak berkelahi atau dihina orang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan agar tidak dilayani dan untuk meredam emosi, kita sampaikan bahwa kita sedang puasa. Karena tindakan semacam ini akan menjatuhkan wibawa seorang muslim.
Sebagai hamba Allah yang baik, tentunya kita sangat menginginkan agar amal kita mendapatkan pahala yang sempurna, pahala terbaik yang Allah janjikan kepada hamba-Nya. Sangat disayangkan, ketika amal yang kita lakukan di bulan yang penuh berkah ini, harus hilang gara-gara sikap kita yang kurang menjaga adab dalam berpuasa. Muslimah.or.id
Allahu a’lam