Oleh : Ust. Imron Rosadi, M.H.I | General Manager Baitulmaal Indragiri
Sukses dalam beribadah merupakan harapan semua hamba. Karena sukses dalam beribadah, berarti ibadah kita diterima. Dan tidak ada satupun hamba yang tidak ingin ibadahnya tidak diterima.
Ketika anda melakukan sebuah aktivitas, anda disebut sukses ketika anda berhasil mendapatkan tujuan yang anda harapkan. Demikian pula dalam masalah ibadah, anda disebut sukses, ketika anda telah meraih tujuan disyariatkannya ibadah itu. Sehingga dengan memahami tujuan disyariatkannya suatu ibadah, kita bisa mengukur sejauh mana keberhasilan ibadah kita dan di saat yang sama, kita juga bisa melakukan evaluasi, ketika kita tidak berhasil menggapai tujuan itu.
Karena itulah, Allah banyak menjelaskan tujuan disyariatkannya berbagai macam ibadah. Diantara tujuan diwajibkan shalat, karena ini mencegah setiap perbuatan keji dan munkar. Allah berfirman,
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
”Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar”. (QS. al-Ankabut: 45)
Diantara tujuan diwajibkan ibadah dalam bentuk mengeluarkan harta, agar harta tidak hanya hanya berputar di sekitar orang-orang kaya,
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
”Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.” (QS. al-Hasyr: 7)
Agar harta itu bisa membantu orang solih yang tidak mampu, sehingga dia bisa tetap melakukan aktivitas ibadah, tanpa harus meluangkan banyak waktu untuk mencari dunia.
Dan di antara tujuan Allah wajibkan puasa, agar mereka menjadi hamba yang bertaqwa.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. al-Baqarah: 183)
Ada dua fungsi ketika kita mengetahui tujuan disyariatkannya ibadah,
Pertama, untuk mengetahui apa yang menjadi harapan seseorang dalam ibadah. Sehingga ini akan mengarahkan semangatnya dalam melakukan ibadah itu.
Kedua, sebagai bahan evaluasi ketika dia tidak mendapatkan tujuan itu. Apa sebab dia gagal meraih tujuan itu. Bagian mana yang belum sempurna, sehingga harus dilakukan perbaikan.
Dengan ini, kita bisa menyusuri kualitas ibadah puasa yang kita lakukan.
Mengukur Puasa dengan Taqwa
Kita telah sepakat, tujuan utama Allah mewajibkan kita untuk berpuasa adalah agar kita menjadi pribadi yang bertaqwa. Sebagaimana ditegaskan dalam satu ayat yang sering kita dengar,
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan bagi kalian untuk berpuasa, sebagaimana dulu telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 183)
Selanjutnya, ada satu pertanyaan yang selayaknya untuk kita renungkan.
Benarkah ketika kita selesai melaksanakan puasa Ramadhan, kita sudah menjadi orang yang bertaqwa?
Apakah setiap kaum muslimin yang lulus melaksanakan puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, secara otomatis menjadi insan yang bertaqwa?
Apakah setiap orang yang menjalankan ibadah selama Ramadhan, ibarat bayi yang baru dilahirkan dari ibunya? Ataukah justru sebaliknya…, banyak diantara kita, atau kaum muslimin yang keluar bulan Ramadhan, tapi masih memiliki sifat yang jauh dari ketaqwaan?
Kita tidak bisa memberikan jawaban yang pasti untuk pertanyaan di atas. Namun, yang jelas realita menunjukkan bahwa kebanyakan kaum muslimin ketika melepas kepergian Ramadhan, mereka kembali pada kebiasaan buruk mereka sebelumnya. Tidak jauh jika kita menyatakan bahwa bisa jadi ini indikator mereka belum mendapatkan predikat taqwa.
Melepas Ramadhan Tanpa Taqwa
Ditegaskan dalam beberapa hadits, ada di antara kaum muslimin, yang seusai melaksanakan puasa Ramadhan, mereka belum mendapatkan ketaqwaan. Mereka masih belum diampuni dan bergelimang dengan dosa maksiat.
Namun sayangnya, yang sangat menyedihkan, keadaan ini dialami oleh kebanyakan kaum muslimin. Banyak orang yang mungkin bisa dikatakan ‘gagal’ dalam menjalankan ibadah Ramadhan.
Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa, sementara yang dia dapatkan dari puasanya hanyalah rasa haus dan dahaga…” (HR. Ahmad 8856, Ibn Majah 1760, dan dishahihkan Syu’aib al-Arnauth).
Anda bisa renungkan kalimat “yang didapatkan hanya lapar dan dahaga.”
Apa yang bisa anda simpulkan?. Tidak jauh jika kita menyatakan, bisa jadi orang ini tidak mendapatkan pahala. Dan itu dialami oleh kebanyakan mereka yang berpuasa. Mengapa bisa demikian? Bukankah kita telah melakukan banyak ketaatan? Bukankah mereka telah melaksanakan berbagai macam bentuk ibadah?
Ya.., benar. Mereka telah melakukan itu semua…, namun di saat yang sama, mereka juga melakukan perbuatan yang menyebabkan pahala ibadah itu hilang. Ini berarti ada perbuatan yang bisa menyebabkan pahala puasa yang mereka lakukan menjadi gugur, sehingga tidak bernilai sama sekali.