Di antara rambu-rambu yang perlu diperhatikan adalah, pertama, terkait naik turunnya mata uang. Hendaknya al-muqridh siap menerima resiko penurunan nilai mata uang. Sebab ulama sepakat, bahwa yang berhak diminta untuk dikembalikan adalah sebesar yang diberikan, tanpa memperhatikan kondisi penurunan nilai mata uang.
Dalam hal ini para ulama menyatakan bahwa al-muqtaridh wajib mengembalikan yang semisal, untuk barang yang memiliki padanan. Baik harganya turun maupun naik atau sesuai keadaan awal. Dan ini menjadi ijma para ulama. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (versi Syamela), 2/244, 4/244 dan al-Iqna’ fi Masail al-Ijma’, 2/196)).
Kedua, boleh mengembalikan al-Qardh dalam bentuk yang lain, misal uang rupiah dikembalikan dalam bentuk dollar, atau semacamnya dengan syarat tidak disepakati sejak awal, sebab akan terjadi riba nasiah. Selanjutnya standar harga yang digunakan adalah di saat pengembalian, bukan di saat awal transaksi al-Qardh dilakukan.
Hal ini telah disepakati oleh Majma’ fiqih Islami, berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar RA. Beliau menjual unta di Baqi’ dengan dinar, dan mengambil pembayarannya dengan dirham. Kemudian ia menyampaikan itu kepada Nabi SAW, dan jawab beliau,
لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَ بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا، وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ
”Tidak masalah kamu mengambil dengan harga hari pembayaran, selama kalian tidak berpisah, sementara masih ada urusan jual beli yang belum selesai.” (HR. Nasai, No: 4589). (Majalah Majma’ Fiqh Islami, Vol. 8, Hal 1744)
Ketiga, boleh memberikan pemberian berupa hadiah. Dengan ketentuan, tidak disyaratkan dan disepakati sejak awal, tidak dijanjikan dan tidak menjadi kebiasan masyarakat setempat. Kecuali hal tersebut telah menjadi kebiasaan antara al-Muqrid dan al-Muqtaridh. (al-Wajiz, 114).
Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah Sabda Nabi SAW,
قوله صلى الله عليه وسلم: «إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا ، فَأُهْدِيَ إِلَيْهِ طَبَقًا فَلا يَقْبَلْهُ ، أَوْ حَمَلَهُ عَلَى دَابَّةٍ فَلا يَرْكَبْهَا إِلا أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ
“Jika diantara kalian ada yang menghutangkan kepada orang lain, lalu yang berhutang memberinya hadiah atau layanan gratis berupa naik kendaraan, janganlah menaiki dan menerimanya, kecuali hal itu sudah biasa dilakukan sebelumnya.” (HR. Ibnu Majah 2432).
Wallahu A’lam Bishhowab.