Sejak dulu, rahn atau gadai telah dilakukan banyak orang. Dalam Islam ada ketentuan-ketentuan yang berlaku pada transaksi rahn. Hal ini perlu diperhatikan agar transaksi yang dilakukan tepat sesuai syariat.
APA ITU RAHN?
Secara etimologi lafal “rahn” berasal dari bahasa Arab, yang bermakna atstsubut wa ad-dawam’, yang artinya “tetap dan kontinyu’ (Majduddin Fairuz Abadi, Al-Qamus al-Muhith, (Beirut: Muassasah arRisalah, Cet-8, 1426 H), 1202).
Sedangkan secara terminologi, para ulama menjelaskan bahwa rahn berarti, “Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, sehingga utang dilunasi dengan menggunakan jaminan tersebut, ketika orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya.” (Abdul Adhim bin Badawi, Al-Wajiz fi Fiqh as-Sunah wa alKitab al-Aziz, (Mesir: Dar Ibnu Rajab, Cet-3, 1421 H), 366).
DASAR HUKUM TRANSAKSI RAHN
Transaksi gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan, berdasar pada al-Quran, Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh alIslami wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr, Cet-4, TT), 6/62).
Dalil dari Alquran adalah firman Allah n yang artinya, “Jika kamu berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang memberi piutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah pihak yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya)”. (QS. AlBaqarah: 283)
Dari ayat ini, meskipun disebutkan di dalamnya ungkapan “dalam perjalanan”, namun para ulama sepakat bahwa rahn diperbolehkan baik dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim. Ungkapan “dalam perjalanan” pada ayat ini hanya menunjukkan kondisi rahn yang biasa dilakukan karena tidak ada saksi, sebab ketika safar sulit mendapatkan saksi (Ibid).
Selain itu, secara umum dari as-sunah menunjukkan kebolehan secara mutlak. Sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin Aisyah x, beliau menceritakan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besi beliau.” (HR. Bukhari, no: 2513 dan Muslim, no: 1603)
STRUKTUR RAHN
Menurut mazhab Hanafi, ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah berupa ijab qabul antara penerima gadai atau pemberi utang (murtahin) dan orang yang menggadaikan (rahin), sebagaimana halnya transaksi lainnya.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa rukun ar-rahn ada empat, yaitu, al-marhun (barang yang digadaikan), almarhun bih (utang), shighah dan pelaku transaksi yaitu rahin dan murtahin (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz fil Fiqh al-Islami, (Damaskus: Darul Fikr, Cet-2, 1427 H),2/218.).
Setiap rukun rahn harus memenuhi beberapa syarat. Baik pelaku transaksi, maupun objek transaksi dan sighah. Untuk pelaku dan sighah sebagaimana yang berlaku pada transaksi jual beli.
Syarat lain yang perlu diperhatikan, terletak pada marhun. Baik pada barang gadaian ataupun utang. Syarat pada utang di antaranya,
Pertama, hendaknya hutang itu merupakan hak seseorang yang wajib dikembalikan kepada yang berhak.
Kedua, utangnya adalah sesuatu yang mungkin untuk dilunasi dengan marhun, maka tidak sah gadai pada qishas, kafalah jiwa dan perkara kemaksiatan, seperti niyahah.
Ketiga, kadarnya diketahui dengan pasti.
Sedangkan syarat pada barang gadaian, sebagaimana dalam syarat objek jual beli, sehingga memungkinkan untuk melunasi hutang. Di antaranya adalah, barang itu diperbolehkan secara syar’i, maka tidak boleh menjadikan bangkai sebagai marhun.
Kemudian, dapat diserahkan, sehingga manfaat atau jasa tidak dapat dijadikan marhun. Dimiliki oleh rahin, atau milik orang lain disertai izinnya.
Selanjutnya, barang itu sedang tidak digunakan, dan terpisah atau dapat dibedakan. Maka tidak sah bila marhun berupa, buah di pohon atau hasil panenan bulan depan misalkan. Dan barang gadaian haruslah jelas, maka tidak boleh menggadaikan salah satu dari dua mobil, tanpa menentukan mobil yang mana. (Ibid, 220-221 dan Abdullah al-Bassam, Taudhih al-Ahkam min Bulughil Maram, (Makkah: Maktabah al-Asadi, Cet-5, 1423 H), 4/460)
KONSEKWENSI HUKUM
Pasca terjadinya transaksi gadai maka ada beberapa ketentuan hukum yang berlaku dan harus ditepati oleh pelaku transaksi, di antaranya,
Pertama, Setelah barang diserahkan transaksi menjadi lazim bagi rahin, dan ghairu lazim bagi murtahin. Maka murtahin dapat membatalkan secara sepihak, sebab rahn diproyeksikan untuk kepentingan dia bukan sebaliknya. (Abu Bakr Ad-Dimyati, I’anah Thalibin ‘ala Hilli Alfadzi Fath alMubin, (Darul Fikr, Cet-1, 1418 H), 3/70)
Kedua, Untuk pemeliharaan dan penjagaan dari kerusakan adalah tanggung jawab murtahin. Sementara biaya nafkah barang gadai, seperti makan atau minum, adalah tanggung jawab rahin. Sebab status kepemilikan dan manfaat barang masih miliknya (Musthafa al-Bugha, Al-Fiqh alManhaji ‘ala Madzhab asy-Syafi’i, (Damaskus: Dar al-Qalam, Cet-4, 1413 H), 7/125).
Ketiga, Rahin tidak boleh memanfaatkan barang kecuali atas izin murtahin, itupun dengan catatan tidak mengakibatkan kualitas marhun berkurang atau rusak. Dan bagi murtahin, menurut pendapat yang rajih, jumhur ulama tidak membolehkan murtahin memanfaatkan marhun. Kecuali jika utangnya berawal dari jual beli, bukan karena qardh, menurut Malikiyah dan Syafi’iyah (Al-Wajiz fi al-Fiqh, 2/229-230).
Madzhab Hambali berpendapat bahwa apabila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan untuk mengendarainya dan memeras susunya sesuai besarnya nafkah yang dia berikan kepada barang gadai tersebut, tanpa izin dari penggadai, karena Rasulullah SAW,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan.” (HR. Bukhari, no: 2512).
Sedangkan Jumhur Ulama berpendapat, tidak bolehnya murtahin mengambil manfaat barang gadai, dan pemanfaatan hanyalah hak penggadai, Tidak ada ulama yang mengamalkan hadits tersebut kecuali Ahmad (Al-Fiqh al-Islami, 6/137).
Keempat, Ketika waktu pelunasan utang telah jatuh tempo, maka rahin berkewajiban melunasi utangnya sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Bila telah lunas maka barang gadaian dikembalikan kepadanya. Namun, bila rahin tidak mampu melunasi utangnya, maka murtahin berhak menjual barang gadaian itu untuk membayar pelunasan utang tersebut atas seizin rahin.
Bilamana ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak rahin. Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka rahin masih menanggung sisa utangnya, dan murtahin berhak untuk menagihnya (Taudhih al-Ahkam, 4/467). Wallahu a’lam.